s
Powered by Blogger.
RSS

Ritual Kematian Suku Dayak



Ritual Kematian Masyarakat Suku Dayak

Apabila terjadi kematian dalam suatu keluarga Suku Dayak, baik karena sakit, mendadak atau karena mengalami kecelakaan, maka dengan seketika mereka, baik keluarga maupun keluarga terdekat akan berdaya upaya menyebarkan berita kematian itu kepada seluruh  masyarakatnya secara luas.

Ada suatu tradisi dalam masyarakat, mengiringi kematian dengan  suara garantung atau gong. Ketika ajal menjelang, jiwa terpisah dari raga, kepergian atau terlepasnya jiwa menuju alam lain diiringi dengan suara bamba atau titih, yaitu garantung atau gong dipalu tiga kali, dilanjutknan suara tiga buah gong yang dipalu bersaut-sautan diiringi karuau  atau jerit tangis kaum ibu. Suara yang terdengar mampu menciptakan suasana mencekam, hati tersayat nyeri bak tertusuk sembilu. Suara gong  ditalu kuat atau keras, namun dengan irama pelan,  gong . . .gong . . .gong . . . selama kurang lebih setengah jam.

Apabila berita duka telah tersebar, yang disebarkan dengan cara berantai dari mulut ke mulut ataupun karena mendengar suara bamba atau titih gong yang bertalu-talu, dengan spontan penduduk kampung bereaksi menunjukan perhatian dan kepeduliannya kepada warganya yang sedang menerima cobaan. Sekalipun sedang bekerja di ladang, di rumah, di perahu, di hutan atau di manapun mereka berada, apabila suara titih atau berita kematian mereka dengar, segala kegiatan yang sedang dilakukan ditinggalkan begitu saja, berduyun-duyun mendatangi rumah duka, untuk memberikan dukungan moral bagi keluarga yang ditinggalkan.

Kedatangan mereka ke rumah duka dengan membawa sumbangan duka berupa hasil bumi hasil usaha sendiri.  Di rumah duka, setelah datang mendekati dan melihat wajah jenazah  untuk terakhir kali, mereka mencoba menemui keluarga yang ditinggalkan untuk menyatakan dukacitanya, biasanya mereka bekerja bahu membahu, dengan cara gotong royong melakukan sesuatu untuk meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.

Ada penduduk yang tanpa komando,  langsung mengumpulkan kayu bakar, menyediakan tungku tempat masak memasak,  menggelar tikar, dan banyak kegiatan yang dengan iklas mereka lakukan. Di rumah duka mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana duka,  tidak membuat kegaduhan,  bicara pelahan, tanpa menunjukkan kegembiraan.

Jenazah diletakkan di tengah-tengah rumah, dan dikelilingi oleh kaum kerabat dan keluarga. Peti jenazah  dibuat saat itu juga, bisa dalam bentuk raung, kakurung, runi, atau lainnya , yang disesuaikan dengan kemampuan atau persyaratan adat. Pembuatan peti mati dilaksanakan dengan cara gotong royong, pada saat itu juga. Peti mati yang umum dipakai ialah raung, yaitu peti mati yang dibuat dari batang pohon  yang dibelah dua dan di bagian tengah dikerok untuk tempat meletakkan jenazah.

Pada sore hari, ibu-ibu akan datang dan berkumpul lagi di rumah duka untuk mandaring atau tidak tidur semalam, untuk menemani keluarga yang sedang berduka. Aturan tidak tertulis namun telah disepakati, bahwa apabila seorang telah ikut mandaring pada hari pertama, maka ia harus juga hadir mandaring di rumah duka tersebut selama tiga malam terus menerus. Apabila hal ini tidak ditaati, maka didenda karena telah dianggap melanggar adat.

Pada malam hari, dilaksanakan acara puar atau hapuar yaitu daun kelapa kering yang masih berlidi atau bambu kering yang dibuat menyerupai batang lidi, dibakar ujungnya, kemudian ujung yang berapi disentuhkan ke kulit tubuh pelayat yang malam itu berkumpul di rumah duka, boleh saling balas membalas atau menghindari sentuhan. Kegiatan ini menjadikan para pelayat yang mandaring di rumah duka  menjadi tidak mengantuk, karena saling usik dan tidak boleh ada kemarahan. Pada saat penguburan, semua pelayat yang hadir dalam upacara akan turut berduka dan menundukkan kepala.

Tiga Tahapan Pelaksanaan Upacara Kematian suku Dayak

  1. Penguburan, menyerahkan arwah yang meninggal kepada Raja Entai Nyahu yang tugasnya sebagai penjaga kuburan.
  2. Tantulak Matei, untuk menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari segala bentuk kesialan dan kematian. Pemberitahuan kepada Duhung Mama Tandang bahwa seorang manusia telah meninggal, agar Duhung Mama Tandang turun ke bumi untuk memandikan arwah dengan Nyalung Kaharingan Belum dan mengantarkannya ke Lewu Bukit Nalian Lanting sampai kelak upacara Tiwah dilaksanakan.
  3. Upacara Tiwah atau Ijambe atau Wara atau Nyorat .  Arwah diantar ke Lewu Liau atau Surga dipandu oleh Rawing Tempun Telun.

Cara Merawat Jenazah Menjelang Penguburan

Arah meletakkan jenazah untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Jenazah seorang laki-laki, kepala diletakkan arah selatan, untuk perempuan, kepala diletakkan arah utara.
Setelah dimandikan oleh petugas yang telah ditentukan, lalu dikenakan pakaian. Setelah itu dibungkus dengan tujuh lapis kain, pada tangan kiri diletakan telur atau daun sawang, dan tangan kanan pinang muda atau pinang tua. Pada bagian mata, ditutupi tujuh lembar potongan kain, dan di atas potongan kain pada lapis teratas, diletakan batu atau uang putih. Pada lubang telinga dan lubang hidung, diberi penutup, lalu pada bagian ulu hati diletakan sasari atau mangkuk kecil. Kemudian dengan lawai atau benang lembut, jenazah diikat dari kepala hingga kaki. Ujung benang pengikat kaki, pada satu kaki  diikatkan  sepotong perak atau besi, dan kaki satunya lagi diikatkan sirih pinang dan rokok. Disamping kepala dan kaki diletakan mangkuk dan piring kecil.

Setelah semuanya siap, seorang perempuan yang telah ditentukan akan duduk di samping jenazah dan tangannya memegang daun sawang. Maksudnya menjaga jangan sampai jenazah dihinggapi lalat. Larangan yang harus ditaati oleh perempuan yang bertugas duduk disebelah jenazah, adalah pantang makan nasi. Ia hanya boleh makan sayur mayur selama menunggui jenazah.

Jenis peti mati ditentukan oleh ahli waris dan dibuat bersama-sama, gotong royong warga kampung. Setelah peti mati selesai dibuat, diletakan di sebelah jenazah menunggu sampai saatnya  jenazah dimasukan ke dalam peti mati. Barang-barang yang dimilikinya selama hidup, diletakan di kiri kanannya. Barang-barang yang diletakan di sebelah kiri, yang antara lain pakaian, mandau, tombak, besei atau pengayuh, diletakan disebelah kiri, karena nantinya akan dibawa ke liang kubur untuk kemudian dibawa lagi ke Lewu Liau atau surga apabila upacara Tiwah telah dilaksanakan. Barang-barang yang diletakan di sebelah kanan, tidak dibawa ke liang kubur karena akan ditinggalkan sebagai warisan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Sebelum jenazah dimasukan ke dalam peti jenazah, terlebih dahulu ahli waris menyediakan :

  1. Beras satu mangkuk.
  2. Garam satu mangkuk
  3. Patung dua buah. Yang sebuah terbuat dari batang pisang dan yang sebuah lagi terbuat dari bambu telang.

Apabila jenazah telah diletakkan di dalam peti mati dan ditaburi beras dan garam yang telah disediakan, kemudian seorang pisur atau petugas pelaksana upacara adat, melaksanakan tugasnya memanggil hambaruan atau semangat yang dimiliki oleh siapapun yang hadir dalam rumah duka. Lalu semua yang hadir meludahi kedua patung yang telah disediakan agar segala sial dan niat jahat siapapun yang hadir tidak terbawa oleh si mati, demikian pula segala sial dan malapetaka dari si mati jangan mengganggu yang masih hidup. Segala sial  dan malapetaka, hanya akan dibawa dan ditanggung oleh kedua patung tersebut. Setelah upacara meludahi patung selesai, barulah barang-barang yang akan dibawa ke liang kubur, dimasukan ke dalam peti mati, baru kemudian peti mati dipasak atau dipaku.

Ketika jenazah telah dikebumikan, pada hari itu juga, di rumah duka disediakan dua buah ancak atau palangka atau tempat sesajen  yang telah dilengkapi dengan sajen  berupa makanan- makanan tertentu, lalu ancak tersebut  digantungkan.  Kedua sajen tersebut ditujukan kepada :

  1. Roh baik yang telah mengusahakan segala sesuatunya hingga berjalan lancar tanpa halangan, maksudnya sebagai ungkapan terima kasih.
  2. Ditujukan kepada Roh jahat agar tidak mengacaukan suasana dan jangan mengganggu ahli waris dan keluarga yang sedang dalam keadaan berduka.

Beberapa Cara Penguburan

  1. Dibakar, abunya dimasukkan ke sebuah guci lalu disimpan di depan rumah.
    Ada yang dalam  tiga hari di kubur nguluhpalus, dan dalam waktu satu sampai tujuh (tidak terbaca, ns)  harus diadakan upacara Tiwah
  2. Bilit atau belit Orang yang telah meninggal dimasukkan ke dalam peti mati yang disebut runi, kemudian digantung di dalam hutan hingga (tidak terbaca, ns). Setahun kemudian, tulang diambil untuk ditiwahkan lalu tulang-tulang tersebut disimpan dalam Sandung Naung.
  3. Dihanyutkan dalam air dengan upacara.
  4. Niwah Palus. Maksudnya (tidak terbaca, ns) hari setelah meninggal diadakan upacara Tiwah.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment