Ritual Kematian Masyarakat Suku Dayak
Apabila terjadi
kematian dalam suatu keluarga Suku Dayak, baik karena sakit, mendadak atau
karena mengalami kecelakaan, maka dengan seketika mereka, baik keluarga maupun
keluarga terdekat akan berdaya upaya menyebarkan berita kematian itu kepada
seluruh masyarakatnya secara luas.
Ada suatu tradisi dalam masyarakat, mengiringi kematian
dengan suara garantung atau gong. Ketika ajal menjelang, jiwa terpisah
dari raga, kepergian atau terlepasnya jiwa menuju alam lain diiringi dengan
suara bamba atau titih, yaitu garantung atau gong dipalu tiga kali,
dilanjutknan suara tiga buah gong yang dipalu bersaut-sautan diiringi
karuau atau jerit tangis kaum ibu. Suara yang terdengar mampu menciptakan
suasana mencekam, hati tersayat nyeri bak tertusuk sembilu. Suara gong
ditalu kuat atau keras, namun dengan irama pelan, gong . . .gong . .
.gong . . . selama kurang lebih setengah jam.
Apabila berita
duka telah tersebar, yang disebarkan dengan cara berantai dari mulut ke mulut
ataupun karena mendengar suara bamba atau titih gong yang bertalu-talu, dengan
spontan penduduk kampung bereaksi menunjukan perhatian dan kepeduliannya kepada
warganya yang sedang menerima cobaan. Sekalipun sedang bekerja di ladang, di
rumah, di perahu, di hutan atau di manapun mereka berada, apabila suara titih
atau berita kematian mereka dengar, segala kegiatan yang sedang dilakukan
ditinggalkan begitu saja, berduyun-duyun mendatangi rumah duka, untuk
memberikan dukungan moral bagi keluarga yang ditinggalkan.
Kedatangan
mereka ke rumah duka dengan membawa sumbangan duka berupa hasil bumi hasil
usaha sendiri. Di rumah duka, setelah datang mendekati dan melihat wajah
jenazah untuk terakhir kali, mereka mencoba menemui keluarga yang
ditinggalkan untuk menyatakan dukacitanya, biasanya mereka bekerja bahu
membahu, dengan cara gotong royong melakukan sesuatu untuk meringankan beban
keluarga yang ditinggalkan.
Ada penduduk
yang tanpa komando, langsung mengumpulkan kayu bakar, menyediakan tungku
tempat masak memasak, menggelar tikar, dan banyak kegiatan yang dengan
iklas mereka lakukan. Di rumah duka mereka berusaha untuk menyesuaikan diri
dengan suasana duka, tidak membuat kegaduhan, bicara pelahan, tanpa
menunjukkan kegembiraan.
Jenazah
diletakkan di tengah-tengah rumah, dan dikelilingi oleh kaum kerabat dan
keluarga. Peti jenazah dibuat saat itu juga, bisa dalam bentuk raung,
kakurung, runi, atau lainnya , yang disesuaikan dengan kemampuan atau
persyaratan adat. Pembuatan peti mati dilaksanakan dengan cara gotong royong,
pada saat itu juga. Peti mati yang umum dipakai ialah raung, yaitu peti mati
yang dibuat dari batang pohon yang dibelah dua dan di bagian tengah
dikerok untuk tempat meletakkan jenazah.
Pada sore hari,
ibu-ibu akan datang dan berkumpul lagi di rumah duka untuk mandaring atau tidak
tidur semalam, untuk menemani keluarga yang sedang berduka. Aturan tidak
tertulis namun telah disepakati, bahwa apabila seorang telah ikut mandaring
pada hari pertama, maka ia harus juga hadir mandaring di rumah duka tersebut
selama tiga malam terus menerus. Apabila hal ini tidak ditaati, maka didenda
karena telah dianggap melanggar adat.
Pada malam
hari, dilaksanakan acara puar atau hapuar yaitu daun kelapa kering yang masih
berlidi atau bambu kering yang dibuat menyerupai batang lidi, dibakar ujungnya,
kemudian ujung yang berapi disentuhkan ke kulit tubuh pelayat yang malam itu
berkumpul di rumah duka, boleh saling balas membalas atau menghindari sentuhan.
Kegiatan ini menjadikan para pelayat yang mandaring di rumah duka menjadi
tidak mengantuk, karena saling usik dan tidak boleh ada kemarahan. Pada saat
penguburan, semua pelayat yang hadir dalam upacara akan turut berduka dan
menundukkan kepala.
Tiga Tahapan Pelaksanaan
Upacara Kematian suku Dayak
- Penguburan, menyerahkan arwah yang meninggal kepada Raja Entai Nyahu yang tugasnya sebagai penjaga kuburan.
- Tantulak Matei, untuk menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari segala bentuk kesialan dan kematian. Pemberitahuan kepada Duhung Mama Tandang bahwa seorang manusia telah meninggal, agar Duhung Mama Tandang turun ke bumi untuk memandikan arwah dengan Nyalung Kaharingan Belum dan mengantarkannya ke Lewu Bukit Nalian Lanting sampai kelak upacara Tiwah dilaksanakan.
- Upacara Tiwah atau Ijambe atau Wara atau Nyorat . Arwah diantar ke Lewu Liau atau Surga dipandu oleh Rawing Tempun Telun.
Cara Merawat Jenazah
Menjelang Penguburan
Arah meletakkan
jenazah untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Jenazah seorang laki-laki,
kepala diletakkan arah selatan, untuk perempuan, kepala diletakkan arah utara.
Setelah dimandikan oleh petugas yang telah ditentukan, lalu dikenakan pakaian. Setelah itu dibungkus dengan tujuh lapis kain, pada tangan kiri diletakan telur atau daun sawang, dan tangan kanan pinang muda atau pinang tua. Pada bagian mata, ditutupi tujuh lembar potongan kain, dan di atas potongan kain pada lapis teratas, diletakan batu atau uang putih. Pada lubang telinga dan lubang hidung, diberi penutup, lalu pada bagian ulu hati diletakan sasari atau mangkuk kecil. Kemudian dengan lawai atau benang lembut, jenazah diikat dari kepala hingga kaki. Ujung benang pengikat kaki, pada satu kaki diikatkan sepotong perak atau besi, dan kaki satunya lagi diikatkan sirih pinang dan rokok. Disamping kepala dan kaki diletakan mangkuk dan piring kecil.
Setelah dimandikan oleh petugas yang telah ditentukan, lalu dikenakan pakaian. Setelah itu dibungkus dengan tujuh lapis kain, pada tangan kiri diletakan telur atau daun sawang, dan tangan kanan pinang muda atau pinang tua. Pada bagian mata, ditutupi tujuh lembar potongan kain, dan di atas potongan kain pada lapis teratas, diletakan batu atau uang putih. Pada lubang telinga dan lubang hidung, diberi penutup, lalu pada bagian ulu hati diletakan sasari atau mangkuk kecil. Kemudian dengan lawai atau benang lembut, jenazah diikat dari kepala hingga kaki. Ujung benang pengikat kaki, pada satu kaki diikatkan sepotong perak atau besi, dan kaki satunya lagi diikatkan sirih pinang dan rokok. Disamping kepala dan kaki diletakan mangkuk dan piring kecil.
Setelah
semuanya siap, seorang perempuan yang telah ditentukan akan duduk di samping
jenazah dan tangannya memegang daun sawang. Maksudnya menjaga jangan sampai
jenazah dihinggapi lalat. Larangan yang harus ditaati oleh perempuan yang
bertugas duduk disebelah jenazah, adalah pantang makan nasi. Ia hanya boleh
makan sayur mayur selama menunggui jenazah.
Jenis peti mati
ditentukan oleh ahli waris dan dibuat bersama-sama, gotong royong warga
kampung. Setelah peti mati selesai dibuat, diletakan di sebelah jenazah
menunggu sampai saatnya jenazah dimasukan ke dalam peti mati.
Barang-barang yang dimilikinya selama hidup, diletakan di kiri kanannya.
Barang-barang yang diletakan di sebelah kiri, yang antara lain pakaian, mandau,
tombak, besei atau pengayuh, diletakan disebelah kiri, karena nantinya akan
dibawa ke liang kubur untuk kemudian dibawa lagi ke Lewu Liau atau surga
apabila upacara Tiwah telah dilaksanakan. Barang-barang yang diletakan di
sebelah kanan, tidak dibawa ke liang kubur karena akan ditinggalkan sebagai
warisan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Sebelum jenazah dimasukan ke
dalam peti jenazah, terlebih dahulu ahli waris menyediakan :
- Beras satu mangkuk.
- Garam satu mangkuk
- Patung dua buah. Yang sebuah terbuat dari batang pisang dan yang sebuah lagi terbuat dari bambu telang.
Apabila jenazah
telah diletakkan di dalam peti mati dan ditaburi beras dan garam yang telah
disediakan, kemudian seorang pisur atau petugas pelaksana upacara adat,
melaksanakan tugasnya memanggil hambaruan atau semangat yang dimiliki oleh
siapapun yang hadir dalam rumah duka. Lalu semua yang hadir meludahi kedua
patung yang telah disediakan agar segala sial dan niat jahat siapapun yang
hadir tidak terbawa oleh si mati, demikian pula segala sial dan malapetaka dari
si mati jangan mengganggu yang masih hidup. Segala sial dan malapetaka,
hanya akan dibawa dan ditanggung oleh kedua patung tersebut. Setelah upacara
meludahi patung selesai, barulah barang-barang yang akan dibawa ke liang kubur,
dimasukan ke dalam peti mati, baru kemudian peti mati dipasak atau dipaku.
Ketika jenazah
telah dikebumikan, pada hari itu juga, di rumah duka disediakan dua buah ancak
atau palangka atau tempat sesajen yang telah dilengkapi dengan
sajen berupa makanan- makanan tertentu, lalu ancak tersebut
digantungkan. Kedua sajen tersebut ditujukan kepada :
- Roh baik yang telah mengusahakan segala sesuatunya hingga berjalan lancar tanpa halangan, maksudnya sebagai ungkapan terima kasih.
- Ditujukan kepada Roh jahat agar tidak mengacaukan suasana dan jangan mengganggu ahli waris dan keluarga yang sedang dalam keadaan berduka.
Beberapa Cara Penguburan
- Dibakar,
abunya dimasukkan ke sebuah guci lalu disimpan di depan rumah.
Ada yang dalam tiga hari di kubur nguluhpalus, dan dalam waktu satu sampai tujuh (tidak terbaca, ns) harus diadakan upacara Tiwah - Bilit atau belit Orang yang telah meninggal dimasukkan ke dalam peti mati yang disebut runi, kemudian digantung di dalam hutan hingga (tidak terbaca, ns). Setahun kemudian, tulang diambil untuk ditiwahkan lalu tulang-tulang tersebut disimpan dalam Sandung Naung.
- Dihanyutkan dalam air dengan upacara.
- Niwah Palus. Maksudnya (tidak terbaca, ns) hari setelah meninggal diadakan upacara Tiwah.
Sumber : http://humabetang.web.id/dayak/budaya/2013/upacara-kematian-dalam-suku-dayak-ngaju/4
[18 Maret 2015]








0 komentar:
Post a Comment